KPA Pashtunwali - Jumat, 29 Januari 2021. Sore itu adalah puncak dari pertimbanganku untuk mengikuti Pendidikan Dasar (DIKSAR) Komunitas Pecinta Alam Pashtunwali (KPA Pashtunwali) setelah sekian lama meyakinkan diri untuk bergabung bersama orang-orang yang memiliki minat di bidang kegiatan alam bebas dan peduli dengan isu-isu lingkungan.
Setelah semuanya siap, kami tiga belas peserta DIKSAR beranjak dari titik kumpul pertama, tepatnya di Meteseh, Boja pukul 16.30 WIB. Perjalanan kami menuju titik kumpul Base Camp Mawar menempuh waktu satu jam lebih, sebab semenjak siang hujan turun dan kami memutuskan untuk tetap berangkat walaupun masih gerimis. Akhirnya pukul 18.00 WIB kami tiba di Base Camp Mawar. Ternyata, di sana sudah ada dua peserta lain dari Universitas Wahid Hasyim Semarang yang sudah menunggu sedari tadi. Alhasil, kami berjumlah lima belas peserta.
Sesampainya di Base Camp Mawar, kami istirahat sejenak untuk mengisi perut yang kosong dan menghangatkan badan. Di sana kami juga diberikan seragam kaos lapangan sebagai identitas penanda bahwa kami adalah peserta DIKSAR KPA Pashtunwali. Tidak ada yang istimewa dari kaos lapangan ini, warna dasarnya orange dan beberapa corak hitam seperti kaos lapangan yang biasa dipakai oleh tim penyelamat bencana. Bedanya, di dada sebelah kiri simetris dengan jantung ada logo KPA Pashtunwali yang amat sarat akan makna.
Tepat pukul 21.00 WIB, setelah semuanya siap; perlengkapan, peralatan, dan mental, kami dikumpulkan oleh panitia dan diperkenalkan dengan dua instruktur yang akan memandu jalannya DIKSAR KPA Pashtunwali angkatan VII ini. Namanya Mas Jabrik dan Sedulur Solo. Tentu itu bukan nama asli, itu adalah nama rimba atau nama lapangan. Mas Jabrik, sosok yang tegas dan berpengalaman luas, wajar dari segi fisiknya sangat kentara kalau beliau sudah berumur banyak. Berbeda dengan Sedulur Solo, beliau masih muda. Karakternya yang tegas sudah terlihat ketika ia bicara, beliau juga punya banyak pengalaman terutama dalam hal pendakian gunung.
Sebelum memulai ekspedisi, Mas Jabrik mengingatkan kita semua bahwa jangan pernah main-main dengan alam, manusia butuh alam begitu pun alam juga butuh manusia. Kita semua dihimbau agar selalu memegang tiga kunci keselamatan: atur napas, konsentrasi, dan berpikir positif. Karena dengan itu kita semua membekali diri untuk stay safe (tetap aman) terhadap apa pun, baik dalam pendakian maupun kegiatan lainnya. Tak luput, kami pun berdoa sebelum mulai pendakian agar senantiasa dalam perlindungan Tuhan Semesta Alam.
Di tengah gerimis, kami mulai mendaki dengan dinavigatori oleh Mas Jabrik . Disusul oleh dua kelompok yang masing-masing ada leader di paling depan, dan sweeper di paling belakang. Dimana sweeper akan melaporkan segala sesuatu yang terjadi dalam perjalanan kepada leader, dan leader akan memberitahukan kepada navigator.
Gelap malam dan suara hewan-hewan hutan menemani perjalanan kami, juga aliran air yang menggenangi sepanjang jalan setapak kami. Belum sampai pos satu ekspedisi, teman kami terkena musibah. Kakinya tergelincir, kemudian jatuh. Teman kami yang lainnya berinisiatif untuk membawakan carrier-nya. Semangatnya tak padam begitu saja, ia terus berusaha untuk tetap berjalan kembali. Namun, karena ia juga memiliki riwayat penyakit sesak napas. Ia benar-benar tak bisa melanjutkan perjalanan dan memutuskan kembali turun ke Base camp Mawar diantar oleh panitia.
Perjalanan kami lanjutkan dengan jalur pendakian lama. Setiap pos ekspedisi kami sengaja break untuk sekadar melemaskan kaki dan membasahi tenggorokan agar tidak kering. Beberapa kesempatan instruktur juga menjelaskan tentang tumbuh-tumbuhan di sekitar yang berbahaya diantaranya daun jelatang, dan daun kemadu.
Saat kami telah melewati pos 3, hujan bertambah deras. Tiba-tiba angin kencang menyertainya. Dengan hati-hati kami tetap berjalan dengan bergandeng tangan satu sama lain. Hingga akhirnya, kami terpaksa beristirahat di shelter Promasan karena tidak bisa mendirikan bivak pada kondisi cuaca ekstrim yang terjadi.
Berlanjut pada pagi hari, angin masih saja kencang. Kami menyiapkan sarapan pagi sebelum dilanjutkan dengan materi. Dan setelahnya kami makan dengan lahap.
Materi pertama adalah tali temali. Dipimpin oleh sedulur Siroj, kami mempraktekkan teori-teori tali-temali yang berguna saat kegiatan pendakian. Diantaranya kami belajar simpul mati, simpul jangkar, simpul delapan dan diakhiri dengan praktik membuat seat harnest untuk kegiatan panjat tebing atau rapling.
Materi kedua, adalah tentang ke-Pashtunwali-an. Dengan pemateri sedulur Achwan. Beliau menjelaskan panjang lebar sejarah KPA Pashtunwali. Bagaimana awal mula dibentuk dan mengapa diberi nama Pashtunwali.
Materi dilanjutkan dengan PPGD atau pertolongan pertama gawat darurat yang dipimpin oleh Sedulur Jabrik. Diantaranya Kami memprakktikan bagaimana cara penanganan dan evakuasi pada orang yang cidera dalam pendakian, dan lainnya.
Malam pun tiba, cuaca mulai membaik. Angin yang semula kencang kini mulai stabil. Artinya kami bisa mendirikan bivak untuk bermalam. Dengan susah payah bivak kami buat dengan sebaik mungkin untuk istirahat malam hari.
Dihari berikutnya, Minggu pagi 30 Januari 2021. Kami melaksanakan senam pagi untuk menjaga kebugaran jasmani. Disambung dengan masak dan makan pagi. Namun, ada yang beda pada sarapan pagi itu. Kami ditantang untuk mencari tujuh jenis tumbuhan untuk dimasak. Kami pun mencarinya untuk dimasak. Kegiatan ini dievaluasi oleh Sedulur Andi.
Di pagi hari yang cerah itu kami menerima materi tentang navigasi darat. Materi disampaikan oleh Sedulur Abdul Ghoffar yang memiliki nama rimba Celeng. Kami diajarkan untuk bisa membaca peta, arah angin, dan apa yang harus dilakukan saat tersesat di alam bebas.
Setelah siang, kami melanjutkan perjalanan menyusuri hutan. Kami dibawa ke sebuah kolam di bawah sungai. Ini merupakan yang paling seru, di mana kami diajarkan cara mengevakuasi korban banjir. Tas yang kami bawa juga digunakan sebagai pelampung. Hal itu juga untuk menguji apakah packing basah yang lakukan sudah sesuai atau belum.
Kami diajak menyusuri sungai. Melawan derasnya arus air. Membuka jalan yang dipenuhi tumbuh-tumbuhan air, dan sampah. Perjuangan terasa sangat berat disini. Dilain sisi harus menggendong tas yang basah, juga harus melewati sungai yang deras. Kami terus bergandengan tangan agar semuanya bisa melewati rintangan ini.
Akhirnya, kami sampai pada yang ditentukan. Sejenak kami melemaskan anggota badan dan mengurangi rasa dingin. Kami lanjutkan perjalanan menuju sebuah candi yang bernama Candi Promasan. Kelak tempat ini akan menjadi tempat paling bersejarah. Di tempat ini kami dibaiat dan disematkan slayer berlogo KPA Pashtunwali sebagai tanda resmi bahwa kami telah menjadi bagian dari keluarga KPA Pashtunwali. Kami dibaiat oleh Anggota Dewan Kehormatan dengan nama angkatan La Nina (Badai Dingin).
Akhirnya kami telah selesai melewati rangkaian kegiatan Diksar KPA Pashtunwali ke-VII ini dengan selamat. Kegiatan diakhiri dengan pemberian nama rimba pada masing-masing anggota baru.
Segala macam tantangan dan rintangan yang ada dalam Diksar KPA Pashtunwali ini bagi saya pribadi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kerusakan yang sudah saya perbuat kepada alam.
“Yang telah melewati badai tidak akan terusik oleh gerimis.” (Sedulur Solo)